Senin, 01 Juli 2013
melihat afganistan lewat selimut debu
Agama itu bukan di baju. Agama itu ada di dalam hati. Inti Agama adalah kemanusiaan.
Seorang Shah dari suku Wakhi, salah satu suku di Afghanistan pernah mengatakan hal tersebut. Mayoritas penduduk Afghanistan mengenakan Shalwar Kamiz untuk pria dan Burqa untuk perempuan. Mereka terlihat selalu menilai keimanan dari apa yang mereka kenakan. Keimanan sudah tidak lagi ditentukan dengan sikap dan perilaku mereka. Melainkan dari serban, jenggot atau apapun yang sebenarnya hanya sekedar simbol belaka. Benar yang dikatakan oleh Agustinus Wibowo dalam buku ini bahwa sekarang niilai-nilai keimanan muslim di Afghanistan tereduksi menjadi jenggot, serban dan burqa.
Buku yang diberi judul Selimut Debu adalah kumpulan tulisan dari penjelajahan Agustinus Wibowo di Afghanistan. Negara yang berkali-kali dilanda perang. Mulai dari serangan Uni Soviet, Mujahiddin hingga Taliban. Hingga sekarang serangan bom bunuh diri pun masih sering terjadi. Sebenarnya banyak sekali bantuan dana dari luar negeri mengalir ke negeri ini. Dana tersebut ditujukan untuk pembangunan kembali infrastruktur serta pelayanan kesehatan. Namun, korupsi yang merajalela pada pemerintahan Afghanistan membuat aliran dana itu tersesat hilang ke saku para pejabat pemerintahan.
Kekacauan di negeri ini ditambah lagi dengan perilaku warganya yang sangat kesukuan. Afghanistan yang terdiri dari berbagai suku seperti Pashtun, Hazara dan lainnya saling menilai bahwa sukunyalah yang terbaik. Sementara suku-suku lainnya adalah penipu. Hal ini terkadang memicu kekerasan antar suku. Sehingga sulit sekali bisa menata kembali negeri ini karena tak ada rasa saling percaya antar mereka sendiri.
Satu hal lagi yang menarik dalam tulisan Agustinus Wibowo adalah tentang Bachabazi. Bachabazi berasal dari kata bacha yang artinya bocah laki-laki, dan bazi artinya ‘bermain’. ‘Bermain’ bocah adalah hubungan seksual antara lelaki yang lebih tua dengan bocah yang masih muda. Di negara lain mungkin hal ini dikenal dengan istilah pedofilia. Kebiasaan ini sudah menjadi kultur bagi suku Uzbek dan suku Pashtun. Mereka yang melakukan bachabazi bahkan dihormati. Para orangtua bocah-bocah tersebut juga bangga karena anak mereka diperlakukan sebagai boneka hidup oleh ‘orang terhormat’ tersebut.
Kemiskinan menjadi salah satu penyebab masih terjadinya kebiasaan ini. Para orangtua merelakan anaknya diurus orang lain agar anak mereka tidak mengalami penderitaan karena kekurangan materi. Padahal anak-anak itupun akhirnya mengalami penderitaan yang lebih besar secara fisik dan mental. Bagaimanapun kebiasaan ini yang bersembunyi dibalik topeng budaya tak bisa dibenarkan.
Keberanian Agustinus Wibowo untuk menjelajahi Afghanistan patut diacungi jempol. Karena negara ini mempunyai sentiment agama yang tinggi. Penulis menyajikan kisahnya dengan apik ditambah dengan beberapa gambar yang ia ambil sendiri dengan kameranya. Perbincangannya dengan banyak orang juga menarik untuk dicermati dan direnungi. Seperti perbincangannya dengan Nassir Ahmad sopir dari Herat yang cacat terkena ranjau. Mereka berbincang tentang harapan untuk Afghanistan yang lebih baik. Sepotong pembicaraan yang sangat menarik adalah:
“Hidup itu selalu ada naik-turunnya, seperti pegunungan ini. Kita terkadang terengah-engah mendaki, terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada waktu berbahagia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar